Kamis, 10 Oktober 2013

Kesaksian: Lahir tanpa bola mata dan menemukan kasih Tuhan

KESAKSIAN

           SAYA TERSELAMATKAN WALAUPUN LAHIR TANPA BOLA MATA
           =================================================

  Jhon Natanael lahir tanpa bola mata. Saat ia di dalam kandungan,
  ibunya putus asa dengan keberadaan ayahnya, lalu mencoba melakukan
  tindakan bunuh diri. Ini berimbas di masa kecilnya. Ia melewati
  semuanya dengan luka yang teramat dalam. Kesepian menjadi nyanyian
  pilu yang disimpannya sendiri. Bertahun-tahun, ia mengalami
  frustrasi dan terus bertanya. Mengapa ia dilahirkan buta? Namun,
  semua kesesakan itu dihempasnya di kaki salib Yesus. Kini, Jhon bisa
  berkata, "Hidup saya amat berarti."

  Lahir Tanpa Bola Mata

  Saat mengandung Jhon empat bulan, ibunya terguncang karena ayah Jhon
  punya kebiasaan judi yang tak kunjung berhenti. Puncak stres itu
  ketika ayah Jhon berurusan dengan polisi dan masuk penjara. Dalam
  keputusasaan, dia mencoba bunuh diri dengan menenggak minuman yang
  mematikan, semacam garam pekat. Namun, Tuhan berkehendak lain,
  keduanya selamat. "Mama saya terselamatkan. Saya yang di dalam
  kandungan pun tetap hidup meskipun lahir dengan keadaan mata seperti
  ini, tanpa bola mata," kisah anak bungsu dari empat bersaudara itu.

  Jhon yang terlahir dengan nama Laij Tji The seolah menampung duka
  lara dan kemarahan ibunya. "Umur delapan bulan, saya dibawa Mama ke
  Jakarta untuk periksa mata. Tapi dokter mengatakan saya tak mungkin
  bisa melihat, sekali pun dicangkokkan melalui donor. Tidak ada
  harapan karena saraf mata sudah mati. Lebih menyakitkan, dokter
  bilang pada mama bahwa hidup saya sudah tidak berguna dan belum
  terlambat untuk membunuhnya," cerita Jhon yang mengetahui semua
  kisah itu dari ibunya.

  Jhon "hidup" dalam gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Jhon kecil
  sendirian. Ia menyendiri di kamar, duduk terpekur. Belajar berjalan
  dan berulang kali jatuh, tak jarang kepalanya terbentur. Tangannya
  adalah juga mata yang melihat dengan meraba. "Saya tahu, saya cacat
  karena Mama. Sering kali kalau saya dianggap nakal, Mama kerap
  mengeluarkan kata-kata penyesalan telah melahirkan saya. Bahkan,
  beberapa kali Mama mengancam dengan kata-kata, `Saya akan bunuh
  kamu!`"

  Bila ada tamu, Jhon kecil diboyong ke kamar. "Mereka malu karena
  memiliki anggota keluarga yang cacat. Saya dijauhkan dari hubungan
  luar. Menjadi kebiasaan ketika saya mulai tumbuh besar, langsung
  cepat-cepat masuk kamar bila ada ketukan pintu atau terdengar suara
  orang datang. Saya hanya mengenal rumah dan orang-orang seisi
  rumah," ungkapnya lirih.

  Sewaktu umur sepuluh tahun, Jhon pernah mencoba bunuh diri. Setengah
  tak sadar, Jhon mengikat leher dengan karet sampai sulit bernapas.
  Sikap berontak pada orang tua dan situasi yang membosankan itu
  membuat Jhon gampang tersinggung. Namun, sakit hati itu cuma bisa
  dirasakannya dalam hati.

  Jhon tak bisa lagi menghindar ketika guru-guru les ketiga kakaknya
  selalu datang ke rumah memberi pelajaran. "Mereka sering datang,
  jadi mau nggak mau saya kenal mereka. Di antara mereka, ada yang
  sangat memerhatikan saya, mengajak saya ngobrol, suka ngasih permen
  dan ngajak saya nyanyi. Dari sinilah, saya mulai berani bicara
  dengan orang di luar keluarga."

  Ketika Jhon pindah rumah, ia mulai berani ngajak ngobrol orang yang
  ditemui. Suatu kali, ada yang membawanya ke persekutuan. Namun,
  entahlah, Jhon cepat bosan. Paling bertahan dua minggu, setelah itu,
  selalu bikin alasan sakit atau jawaban sekenanya.

  Ishak Sang Motivator

  Di rumah yang baru, ada beberapa orang datang ke rumahnya. Salah
  satunya adalah Ishak, pemuda Kristen yang kerap mabuk. "Kamu harus
  bisa main gitar, ntar saya pinjemin dari gereja. Saya ajarin kamu
  sebentar, trus kamu latihan sendiri. Dua minggu kamu harus bisa
  mainkan satu lagu. Kamu harus rajin. Jangan cepat putus asa kayak
  saya. Kamu harus punya masa depan," kata Jhon tertawa menirukan
  nasihat Ishak. Menurut Jhon, kata-kata Ishak itu kena di hatinya. Ia
  lantas belajar gitar dengan sungguh-sungguh.

  Suatu kali, Jhon berkenalan dengan Amir, teman kakaknya, seorang
  arsitek yang mengerjakan taman di halaman rumahnya. Jhonlah yang
  paling banyak menemani Amir lantaran paling sering di rumah. Betapa
  kagetnya Amir ketika tiba-tiba Jhon nyanyi lagu Gombloh sambil
  memetik gitar. "Pak Amir langsung nanya, mau bantu saya main musik
  di gereja? Karena saya merasa sangat dekat dengan dia saya nggak
  enak nolak. Pak Amir sungguh-sungguh melayani dan mendorong saya.
  Biarpun hujan, Pak Amir tetap menjemput saya dengan sepeda motornya.
  Padahal jarak rumah kami cukup jauh. Dalam hati saya, nekat juga
  orang ini."

  Perubahan Sikap

  Suatu malam, di rumah teman, Jhon merenungi hidup. Rasa gagal,
  tertolak, tidak berguna yang selama ini menekannya, satu per satu
  terbayang di benaknya. Masa kecil yang kelam penuh kepahitan,
  perkataan ibunya, saudara serta kata-kata dokter yang pernah ia
  dengar dari mulut mamanya betul-betul menyesakkan. Malam itu menjadi
  malam yang amat berarti bagi Jhon. Ia tumpahkan segala kekesalan dan
  gelisahnya pada Tuhan. Jhon berserah penuh pada Tuhan. Ia bertekad
  mengubah cara pandangnya dalam melihat kehidupan.

  Pelan-pelan, Jhon bisa menerima kekurangannya. Dia juga berdamai
  dengan diri sendiri dan mengampuni orang-orang yang pernah
  melukainya. Malam itu, Jhon "berhadapan dengan Tuhan".

  "Saya seperti menemukan sosok Bapak," kata Jhon yang sejak lahir
  sampai ia dengar ayahnya meninggal, belum pernah sekalipun bertemu.

  Sukacita dan harapan pelan-pelan memenuhi hati Jhon. Bagi Jhon malam
  itu adalah malam pengampunan. Sebab pada malam itu, ia bisa
  mengampuni setiap orang yang pernah melukainya. Itulah yang
  memotivasi Jhon untuk bangkit dan tidak larut dalam masalah.
  Benarlah, hati yang gembira adalah obat. Jhon makin giat melayani
  Tuhan. Lewat nyanyian dan petikan gitarnya, ia semakin maju dan
  menang mengalahkan segala rasa yang tak perlu disimpannya.

  Usia 20 tahun, Jhon memberanikan diri minta izin pada ibunya untuk
  dibaptis. Ibunya tak keberatan asal Jhon menjadi orang Kristen yang
  sungguh-sungguh. "Meski Mama bukan seorang Kristen, tapi ia
  sungguh-sungguh mendorong saya untuk melayani Tuhan. Pernah suatu
  kali, saya jenuh dan berniat bolos tidak ke gereja, Mama saya ribut.
  `Lho, katanya kamu mau jadi Kristen kok malas-malasan.` Ketika saya
  pulang pelayanan, Mama menunggu saya dan selalu bertanya, sudah
  makan belum?"

  Tuhan juga memberi kesempatan Jhon melayani ibunya saat wanita yang
  melahirkannya itu jatuh sakit dan harus opname. Selama satu minggu,
  Jhon menemani ibunya, "Sewaktu Mama anfal, ia berteriak, `Yesus
  tolong saya!` Tak lama kemudian, Mama dipanggil Tuhan. Rasanya waktu
  bersama Mama belum cukup. Mama meninggal saat kami sangat dekat.
  Tapi hati saya sangat bahagia, Mama sudah mengakui Yesus."

  Bertemu Tulang Rusuk

  Jhon semakin terpacu bercerita tentang Yesus. Jadwal pelayanan
  padat. Awal Juni tahun 2000, Jhon bersama beberapa teman pelayanan
  ke Kalimantan Barat. Di sana, Jhon didampingi Pdt. Kenny Wolter.
  Marianalah yang mengurus dan banyak mendampingi Jhon. Teman-teman
  Jhon maupun Mariana kerap menggoda, "Wah, kayaknya kalian cocok
  banget," kata Jhon tersenyum menirukan godaan mereka.

  Sehari menjelang kembali ke Jakarta, Jhon "didesak" teman-temannya
  untuk "mengungkapkan cinta". Semula Jhon ragu, sadar atas
  keterbatasan yang dimilikinya. Namun akhirnya, muncul keberanian
  itu. Jhon mengajak bicara Mariana. Memang tak ada yang dapat
  membandingi kuasa Tuhan. Mariana, meski kaget bukan kepalang,
  akhirnya menerima cinta Jhon.

  Malam itu pula mereka sepakat untuk segera menikah. Hal ini
  disampaikan kepada Pdt. Kenny, yang kaget mendengarnya. "Pendeta
  bilang, uji dulu. Kami pun dipisahkan di tempat yang berbeda.
  Setelah selesai, kami dipanggil Pdt. Kenny. Apakah jawaban kami
  sama? Ternyata saya dan Mariana punya jawaban sama, mantap untuk
  menikah."

  Pernikahan yang mengharukan itu pun dilaksanakan. "Saya pulang ke
  Jakarta bawa istri, mukjizat ya?" kata Jhon tertawa, Mariana yang
  mendampingi pun tersenyum.

  Mariana mengaku kagum atas karya Tuhan dalam hidup suaminya.
  "Meskipun Kak Jhon begitu, dia loh yang atur keuangan keluarga. Dia
  pinter banget ngurus duit. Saya juga heran, dia bisa main gitar,
  keyboard, drum, suaranya juga bagus," ungkap Mariana, gantian Jhon
  tersenyum mendengar pujian istrinya.

  Tak lama menunggu, Mariana hamil. Pada 13 April 2002, lahirlah Ester
  Agung Natanael; buah cinta kisah keajaiban.

  Jhon tak lagi merasa sepi dan sendiri. Mariana dan Ester memenuhinya
  dengan cinta. Luka itu telah digantikan-Nya dengan sukacita.

Tidak ada komentar: