Rabu, 16 Oktober 2013

Beban Berat

BEBAN BERAT

"Mengapa bebanku berat sekali?" aku berpikir sambil membanting pintu kamarku dan bersender. "Tidak adakah istirahat dari ini?" Aku menghempaskan badanku ke ranjang, menutupi telingaku dengan bantal."Ya Tuhan," aku menangis, "biarkan aku tidur. Biarkan aku tidur dan tidak pernah bangun kembali !"

Dengan tersedu-sedu, aku mencoba untuk meyakinkan diriku untuk melupakan, tiba-tiba gelap mulai menguasai pandanganku. Lalu, suatu cahaya yang sangat bersinar mengelilingiku ketika aku mulai sadar. Aku memusatkan perhatianku pada sumber cahaya itu. Sesosok pria berdiri di depan salib.
"Anakku," orang itu bertanya, "mengapa engkau datang kepadaKu sebelum Aku siap memanggilmu?"

"Tuhan, aku mohon ampun. Ini karena... aku tidak bisa melanjutkannya. Kau lihat betapa berat hidupku. Lihat beban berat di punggungku. Aku bahkan tidak bisa mengangkatnya lagi."

"Tetapi, bukankah Aku pernah bersabda kepadamu untuk datang kepadaku semua yang letih lesu dan berbeban berat, karena Aku akan memberikan KELEGAAN kepadamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

"Aku tahu Engkau pasti akan mengatakan hal itu. Tetapi kenapa bebanku begitu berat?"

"AnakKu, setiap orang di dunia memiliki beban. Mungkin kau ingin mencoba salib yang lain?"

"Aku bisa melakukan hal itu?"

Ia menunjuk beberapa salib yang berada di depan kakiNya. "Kau bisa mencoba semua ini."
Semua salib itu berukuran sama. Tetapi setiap salib tertera nama orang yang memikulnya.

"Itu punya Joan," kataku. Joan menikah dengan seorang kaya raya. Ia tinggal di lingkungan yang nyaman dan memiliki 3 anak perempuan yang cantik dengan pakaian yang bagus-bagus. Kadang kala ia menyetir sendiri ke gereja dengan mobil Cadillac suaminya kalau mobilnya rusak."Umm, aku coba punya Joan." Sepertinya hidupnya tenang-tenang saja. Seberat apa beban yang Joan panggul? pikirku.

Tuhan melepaskan bebanku dan meletakkan beban Joan di pundakku. Aku langsung terjatuh seketika."Lepaskan beban ini!" teriakku. "Apa yang menyebabkan beban ini sangat berat?"

"Lihat ke dalamnya."

Aku membuka ikatan beban itu dan membukanya. Di dalamnya terdapat gambaran ibu mertua Joan, dan ketika aku mengangkatnya, ibu mertua Joan mulai berbicara, "Joan, kau tidak pantas untuk anakku, tidak akan pernah pantas. Ia tidak seharusnya menikah denganmu. Kau adalah wanita yang terburuk untuk cucu-cucuku..."

Aku segera meletakkan gambaran itu dan mengangkat gambaran yang lain. Itu adalah Donna, adik terkecil Joan. Kepala Donna dibalut sejak operasi epilepsi yang gagal itu. Gambaran yang ketiga adalah adik laki-laki Joan. Ia kecanduan narkoba, telah dijatuhi hukuman karena membunuh seorang perwira polisi.

"Aku tahu sekarang mengapa bebannya sangat berat, Tuhan. Tetapi ia selalu tersenyum dan suka menolong orang lain. Aku tidak menyadarinya..."

"Apakah kau ingin mencoba yang lain?" tanya Tuhan dengan pelan.

Aku mencoba beberapa. Beban Paula terasa sangat berat juga : Ia memelihara 4 orang anak laki-laki tanpa suami. 
Debra punya juga demikian : masa kecilnya yang dinodai olah penganiayaan seksual dan menikah karena paksaan. 
Ketika aku melihat beban Ruth, aku tidak ingin mencobanya. Aku tahu di dalamnya ada penyakit Arthritis, usia lanjut, dan tuntutan bekerja penuh sementara suami tercintanya berada di Panti Jompo.

"Beban mereka semua sangat berat, Tuhan" kataku. "Kembalikan bebanku"

Ketika aku mulai memasang bebanku kembali, aku merasa bebanku lebih ringan dibandingkan yang lain.

"Mari kita lihat ke dalamnya," Tuhan berkata.

Aku menolak, menggenggam bebanku erat-erat. "Itu bukan ide yang baik," jawabku,

"Mengapa?"

"Karena banyak sampah di dalamnya."


"Biar Aku lihat"
Suara Tuhan yang lemah lembut membuatku luluh. Aku membuka bebanku.
Ia mengambil satu buah batu bata dari dalam bebanku. "Katakan kepadaKu mengenai hal ini."

"Tuhan, Engkau tahu itu. Itu adalah uang. Aku tahu kalau kami tidak semenderita seperti orang lain di beberapa negara atau seperti tuna wisma di sini. Tetapi kami tidak memiliki asuransi, dan ketika anak-anak sakit, kami tidak selalu bisa membawa mereka ke dokter. Mereka bahkan belum pernah pergi ke dokter gigi. Dan aku sedih untuk memberikan mereka pakaian bekas."

"AnakKu, Aku selalu memberikan kebutuhanmu.... dan semua anak-anakmu. Aku selalu memberikan mereka badan yang sehat. Aku mengajari mereka bahwa pakaian mewah tidak membuat seorang berharga di mataKu."

Kemudian ia mengambil sebuah gambaran seorang anak laki-laki. "Dan yang ini?" tanya Tuhan.

"Andrew..." aku menundukkan kepala, merasa malu untuk menyebut anakku sebagai sebuah beban.
"Tetapi, Tuhan, ia sangat hiperaktif. Ia tidak bisa diam seperti yang lain, ia bahkan membuatku sangat kelelahan. Ia selalu terluka, dan orang lain yang membalutnya berpikir akulah yang menganiayanya. Aku berteriak kepadanya selalu. Mungkin suatu saat aku benar-benar menyakitinya..."

"AnakKu," Tuhan berkata. "jika kau percayakan kepadaKu, aku akan memperbaharui kekuatanmu, dan jika engkau mengijinkan Aku untuk mengisimu dengan Roh Kudus, aku akan memberikan engkau kesabaran."
Kemudian Ia mengambil beberapa kerikil dari bebanku.

"Ya, Tuhan.." aku berkata sambil menarik nafas panjang.
"Kerikil-kerikil itu memang kecil. Tetapi semua itu adalah penting. Aku membenci rambutku. Rambutku tipis, dan aku tidak bisa membuatnya kelihatan bagus. Aku tidak mampu untuk pergi ke salon. Aku kegemukan dan tidak bisa menjalankan diet. Aku benci semua pakaianku. Aku benci penampilanku!"

"AnakKu, orang memang melihat engkau dari penampilan luar, tetapi Aku melihat jauh sampai ke dalamnya hatimu. Dengan Roh Kudus, kau akan memperoleh pengendalian diri untuk menurunkan berat badanmu. Tetapi keindahanmu tidak harus datang dari luar. Bahkan, seharusnya berasal dari dalam hatimu, kecantikan diri yang tidak akan pernah hilang dimakan waktu.
Itulah yang berharga di mataKu."

Bebanku sekarang tampaknya lebih ringan dari sebelumnya. "Aku pikir aku bisa menghadapinya sekarang," kataku,

"Yang terakhir, berikan kepadaKu batu bata yang terakhir." kata Tuhan.

"Oh, Engkau tidak perlu mengambilnya. Aku bisa mengatasinya."

"AnakKu, berikan kepadaKu." Kembali suaraNya membuatku luluh. Ia mengulurkan tangaNya, dan untuk pertama kalinya Aku melihat lukaNya.

"Tetapi Tuhan, bebanku ini kotor dan mengerikan, jadi Tuhan....Bagaimana dengan tanganMu? TanganMu penuh dengan luka!!"

Aku tidak lagi memperhatikan bebanku, aku melihat wajahNya untuk pertama kalinya. Dan pada dahiNya, kulihat luka yang sangat dalam... tampaknya seseorang telah menekan mahkota duri terlalu dalam ke dagingNya.

"Tuhan," aku berbisik. "Apa yang terjadi dengan Engkau?"

MataNya yang penuh kasih menyentuh kalbuku.

"AnakKu, kau tahu itu. Berikan kepadaku bebanmu. Itu adalah milikKu. Aku telah membelinya."

"Bagaimana?"

"Dengan darahKu"

"Tetapi kenapa Tuhan?"

"Karena aku telah mencintaimu dengan cinta abadi, yang tak akan punah dengan waktu. Berikan kepadaKu."

Aku memberikan bebanku yang kotor dan mengerikan itu ke tanganNya yang terluka. Beban itu penuh dengan kotoran dan iblis dalam kehidupanku : kesombongan, egois, depresi yang terus-menerus menyiksaku. Kemudian Ia mengambil salibku kemudian menghempaskan salib itu ke kolam yang berisi dengan darahNya yang kudus. Percikan yang ditimbulkan oleh salib itu luar biasa besarnya.

"Sekarang anakKu, kau harus kembali. Aku akan bersamamu selalu. Ketika kau berada dalam masalah, panggillah Aku dan Aku akan membantumu dan menunjukkan hal-hal yang tidak bisa kau bayangkan sekarang."

"Ya, Tuhan, aku akan memanggilMu."
Aku mengambil kembali bebanku.

"Kau boleh meninggalkannya di sini jika engkau mau. Kau lihat beban-beban itu? Mereka adalah kepunyaan orang-orang yang telah meninggalkannya di kakiKu, yaitu Joan, Paula, Debra, Ruth... Ketika kau meninggalkan bebanMu di sini, aku akan menggendongnya bersamamu. Ingat, kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan."

Seketika aku meletakkan bebanku, cahaya itu mulai menghilang. Namun, masih kudengar suaraNya berbisik, "Aku tidak akan meninggalkanmu, atau melepaskanmu."

Saat itu, aku merasakan damai sekali di hatiku.

God Bless you 

Kamis, 10 Oktober 2013

Kesaksian: Lahir tanpa bola mata dan menemukan kasih Tuhan

KESAKSIAN

           SAYA TERSELAMATKAN WALAUPUN LAHIR TANPA BOLA MATA
           =================================================

  Jhon Natanael lahir tanpa bola mata. Saat ia di dalam kandungan,
  ibunya putus asa dengan keberadaan ayahnya, lalu mencoba melakukan
  tindakan bunuh diri. Ini berimbas di masa kecilnya. Ia melewati
  semuanya dengan luka yang teramat dalam. Kesepian menjadi nyanyian
  pilu yang disimpannya sendiri. Bertahun-tahun, ia mengalami
  frustrasi dan terus bertanya. Mengapa ia dilahirkan buta? Namun,
  semua kesesakan itu dihempasnya di kaki salib Yesus. Kini, Jhon bisa
  berkata, "Hidup saya amat berarti."

  Lahir Tanpa Bola Mata

  Saat mengandung Jhon empat bulan, ibunya terguncang karena ayah Jhon
  punya kebiasaan judi yang tak kunjung berhenti. Puncak stres itu
  ketika ayah Jhon berurusan dengan polisi dan masuk penjara. Dalam
  keputusasaan, dia mencoba bunuh diri dengan menenggak minuman yang
  mematikan, semacam garam pekat. Namun, Tuhan berkehendak lain,
  keduanya selamat. "Mama saya terselamatkan. Saya yang di dalam
  kandungan pun tetap hidup meskipun lahir dengan keadaan mata seperti
  ini, tanpa bola mata," kisah anak bungsu dari empat bersaudara itu.

  Jhon yang terlahir dengan nama Laij Tji The seolah menampung duka
  lara dan kemarahan ibunya. "Umur delapan bulan, saya dibawa Mama ke
  Jakarta untuk periksa mata. Tapi dokter mengatakan saya tak mungkin
  bisa melihat, sekali pun dicangkokkan melalui donor. Tidak ada
  harapan karena saraf mata sudah mati. Lebih menyakitkan, dokter
  bilang pada mama bahwa hidup saya sudah tidak berguna dan belum
  terlambat untuk membunuhnya," cerita Jhon yang mengetahui semua
  kisah itu dari ibunya.

  Jhon "hidup" dalam gelap. Ia tak bisa melihat apa-apa. Jhon kecil
  sendirian. Ia menyendiri di kamar, duduk terpekur. Belajar berjalan
  dan berulang kali jatuh, tak jarang kepalanya terbentur. Tangannya
  adalah juga mata yang melihat dengan meraba. "Saya tahu, saya cacat
  karena Mama. Sering kali kalau saya dianggap nakal, Mama kerap
  mengeluarkan kata-kata penyesalan telah melahirkan saya. Bahkan,
  beberapa kali Mama mengancam dengan kata-kata, `Saya akan bunuh
  kamu!`"

  Bila ada tamu, Jhon kecil diboyong ke kamar. "Mereka malu karena
  memiliki anggota keluarga yang cacat. Saya dijauhkan dari hubungan
  luar. Menjadi kebiasaan ketika saya mulai tumbuh besar, langsung
  cepat-cepat masuk kamar bila ada ketukan pintu atau terdengar suara
  orang datang. Saya hanya mengenal rumah dan orang-orang seisi
  rumah," ungkapnya lirih.

  Sewaktu umur sepuluh tahun, Jhon pernah mencoba bunuh diri. Setengah
  tak sadar, Jhon mengikat leher dengan karet sampai sulit bernapas.
  Sikap berontak pada orang tua dan situasi yang membosankan itu
  membuat Jhon gampang tersinggung. Namun, sakit hati itu cuma bisa
  dirasakannya dalam hati.

  Jhon tak bisa lagi menghindar ketika guru-guru les ketiga kakaknya
  selalu datang ke rumah memberi pelajaran. "Mereka sering datang,
  jadi mau nggak mau saya kenal mereka. Di antara mereka, ada yang
  sangat memerhatikan saya, mengajak saya ngobrol, suka ngasih permen
  dan ngajak saya nyanyi. Dari sinilah, saya mulai berani bicara
  dengan orang di luar keluarga."

  Ketika Jhon pindah rumah, ia mulai berani ngajak ngobrol orang yang
  ditemui. Suatu kali, ada yang membawanya ke persekutuan. Namun,
  entahlah, Jhon cepat bosan. Paling bertahan dua minggu, setelah itu,
  selalu bikin alasan sakit atau jawaban sekenanya.

  Ishak Sang Motivator

  Di rumah yang baru, ada beberapa orang datang ke rumahnya. Salah
  satunya adalah Ishak, pemuda Kristen yang kerap mabuk. "Kamu harus
  bisa main gitar, ntar saya pinjemin dari gereja. Saya ajarin kamu
  sebentar, trus kamu latihan sendiri. Dua minggu kamu harus bisa
  mainkan satu lagu. Kamu harus rajin. Jangan cepat putus asa kayak
  saya. Kamu harus punya masa depan," kata Jhon tertawa menirukan
  nasihat Ishak. Menurut Jhon, kata-kata Ishak itu kena di hatinya. Ia
  lantas belajar gitar dengan sungguh-sungguh.

  Suatu kali, Jhon berkenalan dengan Amir, teman kakaknya, seorang
  arsitek yang mengerjakan taman di halaman rumahnya. Jhonlah yang
  paling banyak menemani Amir lantaran paling sering di rumah. Betapa
  kagetnya Amir ketika tiba-tiba Jhon nyanyi lagu Gombloh sambil
  memetik gitar. "Pak Amir langsung nanya, mau bantu saya main musik
  di gereja? Karena saya merasa sangat dekat dengan dia saya nggak
  enak nolak. Pak Amir sungguh-sungguh melayani dan mendorong saya.
  Biarpun hujan, Pak Amir tetap menjemput saya dengan sepeda motornya.
  Padahal jarak rumah kami cukup jauh. Dalam hati saya, nekat juga
  orang ini."

  Perubahan Sikap

  Suatu malam, di rumah teman, Jhon merenungi hidup. Rasa gagal,
  tertolak, tidak berguna yang selama ini menekannya, satu per satu
  terbayang di benaknya. Masa kecil yang kelam penuh kepahitan,
  perkataan ibunya, saudara serta kata-kata dokter yang pernah ia
  dengar dari mulut mamanya betul-betul menyesakkan. Malam itu menjadi
  malam yang amat berarti bagi Jhon. Ia tumpahkan segala kekesalan dan
  gelisahnya pada Tuhan. Jhon berserah penuh pada Tuhan. Ia bertekad
  mengubah cara pandangnya dalam melihat kehidupan.

  Pelan-pelan, Jhon bisa menerima kekurangannya. Dia juga berdamai
  dengan diri sendiri dan mengampuni orang-orang yang pernah
  melukainya. Malam itu, Jhon "berhadapan dengan Tuhan".

  "Saya seperti menemukan sosok Bapak," kata Jhon yang sejak lahir
  sampai ia dengar ayahnya meninggal, belum pernah sekalipun bertemu.

  Sukacita dan harapan pelan-pelan memenuhi hati Jhon. Bagi Jhon malam
  itu adalah malam pengampunan. Sebab pada malam itu, ia bisa
  mengampuni setiap orang yang pernah melukainya. Itulah yang
  memotivasi Jhon untuk bangkit dan tidak larut dalam masalah.
  Benarlah, hati yang gembira adalah obat. Jhon makin giat melayani
  Tuhan. Lewat nyanyian dan petikan gitarnya, ia semakin maju dan
  menang mengalahkan segala rasa yang tak perlu disimpannya.

  Usia 20 tahun, Jhon memberanikan diri minta izin pada ibunya untuk
  dibaptis. Ibunya tak keberatan asal Jhon menjadi orang Kristen yang
  sungguh-sungguh. "Meski Mama bukan seorang Kristen, tapi ia
  sungguh-sungguh mendorong saya untuk melayani Tuhan. Pernah suatu
  kali, saya jenuh dan berniat bolos tidak ke gereja, Mama saya ribut.
  `Lho, katanya kamu mau jadi Kristen kok malas-malasan.` Ketika saya
  pulang pelayanan, Mama menunggu saya dan selalu bertanya, sudah
  makan belum?"

  Tuhan juga memberi kesempatan Jhon melayani ibunya saat wanita yang
  melahirkannya itu jatuh sakit dan harus opname. Selama satu minggu,
  Jhon menemani ibunya, "Sewaktu Mama anfal, ia berteriak, `Yesus
  tolong saya!` Tak lama kemudian, Mama dipanggil Tuhan. Rasanya waktu
  bersama Mama belum cukup. Mama meninggal saat kami sangat dekat.
  Tapi hati saya sangat bahagia, Mama sudah mengakui Yesus."

  Bertemu Tulang Rusuk

  Jhon semakin terpacu bercerita tentang Yesus. Jadwal pelayanan
  padat. Awal Juni tahun 2000, Jhon bersama beberapa teman pelayanan
  ke Kalimantan Barat. Di sana, Jhon didampingi Pdt. Kenny Wolter.
  Marianalah yang mengurus dan banyak mendampingi Jhon. Teman-teman
  Jhon maupun Mariana kerap menggoda, "Wah, kayaknya kalian cocok
  banget," kata Jhon tersenyum menirukan godaan mereka.

  Sehari menjelang kembali ke Jakarta, Jhon "didesak" teman-temannya
  untuk "mengungkapkan cinta". Semula Jhon ragu, sadar atas
  keterbatasan yang dimilikinya. Namun akhirnya, muncul keberanian
  itu. Jhon mengajak bicara Mariana. Memang tak ada yang dapat
  membandingi kuasa Tuhan. Mariana, meski kaget bukan kepalang,
  akhirnya menerima cinta Jhon.

  Malam itu pula mereka sepakat untuk segera menikah. Hal ini
  disampaikan kepada Pdt. Kenny, yang kaget mendengarnya. "Pendeta
  bilang, uji dulu. Kami pun dipisahkan di tempat yang berbeda.
  Setelah selesai, kami dipanggil Pdt. Kenny. Apakah jawaban kami
  sama? Ternyata saya dan Mariana punya jawaban sama, mantap untuk
  menikah."

  Pernikahan yang mengharukan itu pun dilaksanakan. "Saya pulang ke
  Jakarta bawa istri, mukjizat ya?" kata Jhon tertawa, Mariana yang
  mendampingi pun tersenyum.

  Mariana mengaku kagum atas karya Tuhan dalam hidup suaminya.
  "Meskipun Kak Jhon begitu, dia loh yang atur keuangan keluarga. Dia
  pinter banget ngurus duit. Saya juga heran, dia bisa main gitar,
  keyboard, drum, suaranya juga bagus," ungkap Mariana, gantian Jhon
  tersenyum mendengar pujian istrinya.

  Tak lama menunggu, Mariana hamil. Pada 13 April 2002, lahirlah Ester
  Agung Natanael; buah cinta kisah keajaiban.

  Jhon tak lagi merasa sepi dan sendiri. Mariana dan Ester memenuhinya
  dengan cinta. Luka itu telah digantikan-Nya dengan sukacita.

Jawaban doa by Sahabat Doa via Facebook

''Jawaban Doa''

Pada suatu hari seorang wanita sedang membimbing
keponakannya belajar. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini
keponakannya tidak bisa berkonsentrasi. Ternyata salah
satu kelerengnya hilang.
Tiba - tiba anak itu berkata, "Bi, bolehkah aku berlutut dan
meminta Allah untuk menemukan kelerengku ?"

Ketika bibinya mengizinkan, anak itu lalu berlutut di dekat
kursinya, menutup matanya dan berdoa dengan sungguh -
sungguh. Selesai berdoa dia bangkit berdiri dan melanjutkan
pelajarannya.

Keesokan harinya, bibinya yang takut doa keponakannya tidak
terjawab, dan dengan demikian akan melemahkan imannya,
dengan khawatir bertanya,
"Sayang, apakah engkau sudah menemukan kelerengmu ?"

"Tidak, Bi" Jawab anak itu,
"tetapi Allah telah membuatku tidak menginginkan kelereng itu
lagi."

Alangkah indahnya iman anak itu.
Allah memang tidak selalu menjawab doa kita menurut
kehendak kita, tetapi jika kita tulus berdoa, Dia akan
mengambil keinginan kita yang bertentangan dengan kehendak-
Nya.

Maju terus dalam Tuhan,

‪#‎Tuhan‬ Yesus memberkati saudara dan seisi rumah, amin.